Minggu, 08 Januari 2012

Hadits Maudhu' (MakaLah Siti Rahmah)


BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG

Al-Quran sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak yang mengandung ayat-ayat yang bersifat mujmal, mutlak, dan ‘am. Oleh karenanya kehadiran hadis berfungsi untuk “tabyin wa taudhih” terhadap ayat-ayat tersebut. Ini menunjukkan hadis menduduki posisi yang sangat penting dalam literatur sumber hukum Islam.
Namun kesenjangan waktu antara sepeninggal Rasulullah SAW. dengan waktu pembukuan hadis (hampir 1 abad) merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepad Rasulullah SAW. dengan alasan yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada Rasulullah SAW. seperti inilah yang selanjutnya dikenal dengan palsu atau Hadis Maudhu’.
Hadis Maudhu’ ini sebenarnya tidak layak untuk disebut sebagai sebuah hadis, karena ia sudah jelas bukan sebuah hadis yang bisa disandarkan pada Nabi SAW. Hadis maudhu’ ini berbeda dengan hadis dha’if. Hadis maudhu’ sudah ada kejelasan akan kepalsuannya sementara hadis dha’if belum jelas, hanya samar-samar. Tapi ada juga yang memasukkan pembahasan hadis maudhu’ ini ke dalam bahasan hadis dha’if.

B.    RUMUSAN MASALAH

1.     Apa pengertian Maudhu’ secara bahasa dan istilah?
2.     Apa sejarah kemunculan Hadits Maudhu’?
3.     Apa bagian-bagian Hadits Maudhu’?
4.     Apa latar belakang munculnya Hadits Maudhu’?
5.     Apa status Hadits Maudhu’?
6.     Apa hukum meriwayatkan Hadits Maudhu’?
7.     Apa tingkatan-tingkatan Hadits Maudhu’?
8.     Apa kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits Maudhu’?
9.     Apa upaya penyelamatan Hadits?
10.   Golongan-golongan apa saja yang membuat Hadits palsu?
11.   Apa saja  karya-karya dalam Hadits Maudhu’?
12.   Siapa nama-nama pemalsu?
13.   Apa contoh Hadits Maudhu’?

C.    TUJUAN PENULISAN

1.     Mengetahui arti Maudhu’ menurut bahasa dan istilah
2.     Mengetahui sejarah Hadits Maudhu’
3.     Mengetahui bagian-bagian Hadits Maudhu’
4.     Mengetahui latar belakang munculnya Hadits Maudhu’
5.     Mengetahui status Hadits Maudhu’
6.     Mengetahui hukum meriwayatkan Hadits Maudhu’
7.     Mengetahui tingkatan-tingkatan Hadits Maudhu’
8.     Mengetahui kaidah-kaidah untuk mengetahui Hadits Maudhu’
9.     Untuk mengetahui upaya penyelamatan Hadits
10.   Untuk mengetahui golongan-golongan yang membuat Hadits palsu
11.   Untuk mengetahui karya-karya dalam Hadits Maudhu’
12.   Untuk mengetahui nama-nama pemalsu
13.   Untuk mengetahui contoh Hadits Maudhu


BAB II
PEMBAHASAN

A.                     Pengertian Hadis Maudhu’[1]
1.           Pengertian Kebahasaan (Etimologis)
Secara bahasa, Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-‘an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al-iftira’ wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Kata al-maudhu’ secara kebahasaan memiliki beberapa konotasi makna yang berbeda-beda, tetapi mengarah pada satu pengertian yang sama. Beberapa konotasi makna itu di antaranya adalah sebagai berikut:
a.    Bermakna al-Hiththah, yang mempunyai arti menurunkan atau merendahkan derajat.
b.    Bermakna al-Isqah, yang mempunyai konotasi arti menggugurkan.
c.    Bermakna al-Ikhtilaq, yang berarti membuat-buat.
d.    Bermakna al-Islaq, yang berarti meletakkan
Beberapa contoh bentukan kata tersebut di atas menunjukkan bahwa kata al-maudhu’u mempunyai padanan dengan kata al-munhithu, al-musqithu, al-mukhtaliqu, dan al-mulshiqu. Sehingga kata al-maudhu’u bisa mempunyai pengertian menurunkan atau merendahkan derajat, menggugurkan, membuat-buat, dan meletakkan sesuatu yang bersifat tiruan pada sesuatu yang aslinya.


2.     Pengertian Keistilahan (Terminologis)
Menurut istilah, hadis maudhu’ adalah:
مَانُسِبَ اِلَي رَ سُوْ لِ اللهِ صَليَ ا للهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ اِ خْتِلاَ قًا وَ كَذْ بًا مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ أَوْ يَفْعَلْهُ أوْ يُقِرُهُ وَقَالَ بَعْدُهُمْ هُوَ الْمُخْتَلَقُ المَصْنُوْعُ[2]                                                                                                              
“Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat maupun menetapkannya.”
Sebagian, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud hadis maudhu’ ialah:
هُوَ المُخْتَلَعُ المَصْنُوْعُ المَنْسُوْبُ إِلَي رَسُوْلِ اللهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ زَوْرًا وَبُهْتَانًا سَوَاءٌ كَا نَ ذَلِكَ عَمْدًا اَوْ خَطَأً[3]                
Hadis yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.”

Beberapa unsur penting dalam bacaan definisi al-maudhu’ adalah sebagai berikut:
a.    Unsur al-wadh’u (pembuatan) atau (dibuat-buat)
b.    Unsur al-kadzibu (dusta) atau (penipu)
c.    Unsur al-amdu (sengaja) dan al-khata’u (tidak sengaja)
Dari ketiga unsur tersebut, unsur yang paling dominan dalam menentukan perwujudan hadis maudhu’ adalah dusta (kidzib). Sehingga nabi sangat berpesan agar menghindari dusta dalam meriwayatkan hadis.
Pengertian hadis maudhu’ secara kebahasaan dan keistilahan mempunyai hubungan kesinambungan cakupan makna dan sasaran antara pengertian keadaannya.
1.    Al-hiththah berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang terbuang dan terlempar dari kebahasaan yang tidak memiliki dasar sama sekali untuk diangkat sebagai landasan hujjah.
2.    Al-isqath berarti bahwa hadis maudhu adalah hadis yang gugur, tidak boleh diangkat sebagai dasar istidal.
3.    Al-islaq berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang ditempelkan (diklaimkan) kepada Nabi Muhammad agar dianggap berasal dari Nabi, padahal bukan berasal dari Nabi.
4.    Al-ikhtilaq berarti bahwa hadis maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat sebagai ucapan, perbuatan atau ketetapan yang berasal dari Nabi, padahal bukan berasal dari Nabi.
Jadi hadis maudhu’ itu adalah bukan hadis yang bersumber dari Rasul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul. Untuk hadis palsu, ulama biasanya menyebutnya dengan istilah hadis maudhu', hadis munkar, hadis bathil, dan yang semacamnya. Tidak boleh meriwayatkan sesuatu hadis yang kenyataannya palsu bagi mereka yang sudah mengetahui akan kepalsuan hadis itu. Kecuali apabila sesudah ia meriwayatkan hadis itu kemudian dia memberi penjelasan bahwa hadis itu adalah palsu, guna menyelamatkan mereka yang mendengar atau menerima hadis itu dari padanya.Tujuan pembuatan hadis palsu adalah untuk kepentigan dakwah dan zuhud.


B.                      Sejarah Kemunculan dan Penyebaran Hadis Maudhu’

              Masuknya penganut agama lain ke Islam, sebagai hasil penyebaran dakwah ke pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor awal dibuatnya hadis-hadis maudhu’. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari mereka memeluk islam karena benar-benar ikhlas dan tertarik dengan kebenaran ajaran islam. Namun terdapat pula segolongan dari mereka yang menganut Islam hanya karena terpaksa mengalah kepada kekuatan islam pada masa itu dan mereka berkeyakinan bahwa mereka tidak akan mendapatkan tempat dihati penguasa-penguasa mukmin kecuali dengan memeluk islam.
               Golongan inilah yang kemudian senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap islam dan kaum muslimin. Kemudian mereka menunggu peluang yang tepat untuk menghancurkan dan menimbulkan keraguan di dalam hati orang banyak terhadap Islam.
Peluang tersebut terjadi pada akhir masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan (W.35H), yang memang sangat toleran terhadap orang lain. Imam Muhammad Ibnu Sirrin (33-110 H) menuturkan, ”Pada mulanya umat Islam apabila mendengar sabda Nabi Saw mereka tidak akan menanyakan tentang sanadnya. Namun setelah terjadinya fitnah (terbunuhnya Ustman bin Affan), apabila mendengar hadis mereka selalu bertanya, dari manakah hadis itu diperoleh? Apabila diperoleh dari orang-orang Ahlsunnah, hadis itu diterima sebagai dalil. Dan apabila diterima dari orang-orang penyebar bid’ah, hadis itu ditolak.
           
   Diantara orang yang memainkan peranan dalam hal ini adalah Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang mengaku memeluk Islam. Dengan berdalih membela Sahabat Ali dan Ahl al Bait, ia berkeliling ke segenap pelosok daerah untuk menabur fitnah. Ia menyampaikan bahwa Ali yang lebih layak menjadi khalifah daripada Usman bahkan Abu Bakar dan Umar. Kemudian ia mengemukakan hadis yang dibuat-buatnya: “Setiap Nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adalah Ali.” Walaupun pada saat itu khalifah Uthman menolak begitu juga shahabat Ali, bahkan oleh khalifah Uthman ibnu Saba diusir dari Madinah karena ulahnya itu, tapi tetap saja ada orang yang mau mempercayainya.
Peristiwa itu adalah awal dari kemunculan hadis maudhu’, namun penyebarannya pada waktu itu belum gencar karena masih banyak sahabat utama yang mengetahui dengan persis akan kepalsuan sebuah hadis. Dan apa yang disampaikan nabi tentang ancaman membuat hadis palsu masih sangat kuat menancap dalam hati mereka.
              Saat setelah terbunuhnya Khalifah Usman barulah kemudian karena kemunculan beberapa aliran politik dengan berbagai kepentingannya hadis maudhu’ mengalami perkembangan yang signifikan.
              Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Tawus bahwa pernah suatu ketika dibawakan kepada Ibnu Abbas suatu buku yang di dalamnya berisi keputusan-keputusan Ali. Ibnu Abbas kemudian menghapusnya kecuali sebagian (yang tidak dihapus). Sufyan bin Uyainah menjelaskan bagian yang tidak dihapus itu sekadar sehasta.
              Imam al-Dzahabi dalam al Tadhkiroh-nya juga meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr, ia berkata : “Aku mendengar Ali berkata di Siffin: Semoga Allah melaknati mereka (yaitu golongan putih yang telah menghitamkan) karena telah merusak hadis-hadis Rasulullah.”
              Menyadari hal ini, para sahabat mulai memberikan perhatian terhadap hadis yang disebarkan oleh seseorang. Mereka tidak akan mudah menerimanya sekiranya ragu akan kesahihan hadis itu. Imam Muslim dengan sanadnya meriwayatkan dari Mujahid (W.104H) sebuah kisah yang terjadi pada diri Ibnu Abbas : “Busyair bin Kaab telah datang menemui Ibnu Abbas lalu menyebutkan sebuah hadis dengan berkata “Rasulullah telah bersabda”, “Rasullulah telah bersabda ”. Namun Ibnu Abbas tidak menghiraukan hadis itu dan juga tidak memandangnya. Lalu Busyair berkata kepada Ibnu Abbas “Wahai Ibnu Abbas ! Aku heran mengapa engkau tidak mau mendengar hadis yang aku sebut. Aku menceritakan perkara yang datang dari Rasulullah tetapi engkau tidak mau mendengarnya. Ibnu Abbas lalu menjawab : “Kami dulu apabila mendengar seseorang berkata “Rasulullah bersabda”, pandangan kami segera kepadanya dan telinga-telinga kami kosentrasi mendengarnya. Tetapi setelah orang banyak mulai melakukan yang baik dan yang buruk, kita tidak menerima hadis dari seseorang melainkan kami mengetahuinya.”
Pada masa Tabiin, periwayatan dan peyebaran hadis semakin meluas, begitu juga pemalsuan atas nama Nabi saw ataupun sahabat bermunculan dan tersebar bersamanya. Hal itu terjadi karena perhatian para Khalifah Dinasti Umayyah pada saat itu terfokus kepada adanya perpecahan politik, disamping sebenarnya ada juga perhatian khalifah terhadap periwayatan-periwayatan hadis akan tetapi kondisi perpecahan umat yang sangat berat, memecah kosentrasi kerhatian ini. sedangkan pada masa dinasti Abbasiyyah banyak terjadi juga pemalsuan atas nama nabi akan tetapi lebih banyak dilatar belakangi oleh rasa ingin dikenal dekat oleh penguasa yaitu dengan menceritakan tentang keutamaan-keutamaan khalifah dan mencaci musuh-musuhnya, atau juga karena perpecahan aliran-aliran baik tentang teologi maupun fiqh dengan tujuan pembelaan atas pendapat dari masing-masing kelompok mereka .
             Sebagai contoh, pernah terjadi pada zaman Khalifah Abbasiyyah, hadis-hadis maudhu’ dibuat demi mengambil hati para khalifah. Diantaranya seperti yang terjadi pada Harun al-Rasyid, di mana seorang lelaki yang bernama Abu al-Bakhtari (seorang qadhi) masuk menemuinya ketika ia sedang menerbangkan burung merpati. Lalu ia berkata kepada Abu al-Bakhtari : “Adakah engkau menghafal sebuah hadis berkenaan dengan burung ini? Lalu dia meriwayatkan satu hadis, katanya: “Bahwa Nabi saw. selalu menerbangkan burung merpati.” Harun al-Rasyid menyadari kepalsuan hadis tersebut lalu menghardiknya dan berkata: “Jika engkau bukan dari keturunan Quraish, pasti aku akan mengusirmu.”
             Tahap penyebaran hadis-hadis maudhu’ pada zaman tersebut masih sedikit dibanding zaman-zaman berikutnya. Ini karena masih banyak para tabiin yang menjaga hadis-hadis dan menjelaskan mana yang lemah dan yang sahih. Ini juga karena zaman mereka masih dianggap hampir sama dengan zaman Nabi SAW dan disebut oleh beliau sebagai diantara sebaik-baik zaman. Pengajaran-pengajaran serta wasiat dari Nabi masih segar dikalangan para tabiin yang menyebabkan mereka dapat mengetahui kepalsuan sebuah hadis.
Karena munculnya hadis-hadis palsu inilah yang kemudian menjadikan Kholifah Umar in Abdul Aziz (w. 101 h.) memerintahkan kepada ulama-ulama di berbagai kota untuk mengumpulkan dan membukukan hadis. Dari hasil usaha para ulama dalam menghafal dan menjaga hadis itulah kita bisa membedakan antara hadis saheh dari yang doif atau hadis yang maqbul dari yang mardud.
C.                      Bagian- bagian Maudhu’
Hadis Maudhu’ atau hadis yang orang ada- adakan ini, terbagi kepada empat bagian:
1)                                             Si rawi mengada- adakan sendiri yang tidak sama dengan perbuatan orang lain.
2)   Si rawi mengambil perkataan salaf, [4] hukama[5] dan cerita- cerita Isra-illiyah,[6] lalu disandarkannya kepada Nabi SAW.
3)                                             Susunan yang diadakan oleh seorang rawi dengan tidak sengaja, tetapi karena waham.
4)   Si rawi mengambil satu hadis yang lemah sanadnya, lalu disusunnya dalam satu sanad yang shahih.[7]
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis. Berikut ini akan dikemukakan pendapat mereka, yakni:
1)   Menurut Ahmad Amin, bahwa hadis maudhu’ telah terjadi pada masa Rasulullah SAW. masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah.
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النارَِ
Bagi siapa yang sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka.
2)   Shalah Al-Dlabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa Rasulullah SAW. alasan yang dia kemukakan adalah hadis riwayat Al-Thahawi (w. 321H/933 M) dan Al- Thabrani (w. 360H/ 971 M) dalam kedua hadis tersebut dinyatakan bahwa pada masa nabi ada seseorang telah membuat berita bohong mengatas namakan nabi.
3)   Menurut jumhur al-muhadditsin bahwa pemalsuan hadis itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali Ibn Thalib,[8] mereka beralasan bahwa keadaan hadis sejak zaman Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara ‘Ali ibn Thalib dengan Mu’awiyah ibn Abi Sofyan (w.60 H/680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan. Zaman nabi jelas tidak mungkin terjadi pemalsuan hadis.

D.                     Latar Belakang Munculnya Hadis Maudhu’
1)                           Pertentangan politik dalam soal khalifah ,
2)                           Usaha Kaum Zindik untuk merusak dan mengeruhkan agama islam ,
3)                           Ashabiyah yakni fanatik terhadap bangsa, suku, negeri, bahasa, dan pimpinan,
4)                           Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat,
5)                           Perselisihan madzhab dan ilmu kalam,
6)                           Membangkitkan gairah beribadat, tanpa mengerti apa yang dilakukan,
7)                           Menjilat penguasa,
8)   Karena ada golongan yang berpendirian boleh mengadakan sanad bagi ucapan yang baik-baik,
9)   Karena hendak mengerahkan supaya orang mengamalkan sesuatu perbuatan yang baik,
10)                         Karena kelalaian si rawi daripada kekeliruan,
11) Karena hilang kitab-kitab si rawi, lalu ia meriwayatkan dari hafalannya, sedang dalam hafalannya ini terdapat kesalahan-kesalahan dan kekeliruan,
12) Karena berubah akal rawi-rawi kepercayaan sebab tuanya, sedang dalam perubahan itu mereka masih meriwayatkan hadis-hadis.

E.                      Status Hadis Maudhu
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan status hadis maudhu, apakah merupakan bagian dari hadis atau bukan. Dalam hal ini, terdapat dua pandangan yaitu:
Kelompok pertama yang diwakili oleh Ibnu Shalah dan diikuti jumhur muhadditsin, berpendapat bahwa hadis maudhu merupakan bagian dari hadis dhaif yang paling jelek dan jahat.
Kelompok kedua diwakili oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yang berpendapat bahwa hadis maudhu bukan termasuk hadis Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan ataupun ketetapan.
F.                      Hukum meriwayatkan hadis- hadis maudhu
v  Secara muthlaq, meriwayatkan hadis-hadis palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadis itu adalah palsu.
v  Bagi mereka yang meriwayatkannya dengan tujuan untuk memberi tahu pada orang bahwa hadis ini adalah palsu, (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau membacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.
v  Mereka tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadis tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya.



G.                     Tingkatan-Tingkatan Hadis Maudhu
Dikalangan para ulama, terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan bobot ke-maudhu-an. Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan pendekatan atau metode penilaian.
Menurut Imam Adz-Dzahabi, hadis maudhu mempunyai tiga tingkatan yaitu:
1.    Hadis maudhu yang nilai kemaudhuannya disepakati secara bulat oleh para muhadditsin
2.    Hadis maudhu yang nilai ke-maudhuan-nya ditetapkan berdasarkan kesepakatan mayoritas ulama, bukan kesepakatan bulat seluruh ulama.
3.    Hadis maudhu (wahm al-maudhu). Sebagian muhadditsin lain menilai hadis yang dusta. (moh. Najib,2001:48)
Status Periwayatan Hadis Maudhu
1)   Status perebutan membuat-buat hadis.
2)   Status berdusta terhadap Rasulullah.
3)   Status pembuat dusta terhadap Rasulullah.
4)   Status riwayat hadis maudhu.
5)   Status pengalaman hadis maudhu.

H.                     Kaidah- kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
Ada beberapa patokan yang bisa dijadikan alat untuk mengidentifikasi bahwa hadis itu palsu diantaranya:


a.    Dalam sanad
1.    Perawi itu terkenal berdusta (seorang pendusta).
2.    Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya, seperti menurut pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang syekh, tapi ternyata ia belum pernah bertemu secara langsung.
3.    Meriwayatkan hadis sendirian, sementara diri rawi dikenal sebagai pembohong. Serta pendorong-pendorong yang mendorongnya kepada membuat hadis.
4.    Qarinah - qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya.

b.    Dalam Matan
1.    Buruknya redaksi hadis, padahal Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang sangat fasih dalam berbahasa, santun dan enak dirasakan.
2.    Maknanya rusak.
3.    Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan al-Quran atau hadis yang lebih kuat atau ijma.
4.    Matannya menyebutkan janji sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil.
5.    Sesuai hadis dengan madzhab yang dianut oleh rawi, seperti rawi itu pula orang yang sangat fanatik kepada madzhabnya.
6.    Mengandung (menerangkan ) urusan yang menurutnya, kalau ada, dinukilkan oleh orang ramai.
7.    Hadis yang bertentangan dengan kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi di masa Rasulullah SAW, dan jelas tampak kebohongannya.
8.    Hadis yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat.
I.     Sumber - sumber yang diriwayatkan
      Para pembuat hadis maudhu' dalam menjalankan tugasnya, kadang- kadang mengambil dari pikiran sendiri semata- mata, dan kadang-kadang menukil dari perkataan orang-orang yang dipandang alim pada waktu itu, atau perkataan orang alim mutaqaddimin.
J.    Upaya Penyelamatan Hadis
Untuk menyelamatkan hadis Nabi SAW di tengah-tengah gencarnya pembuatan hadis palsu, ulama hadis menyusun berbagai kaidah penelitian hadis. Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut:
1)   Meneliti sistem penyandaran hadis.
2)   Memilih perawi-perawi hadis yang terpercaya.
3)   Studi kritik rawi, yang tampaknya lebih dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau kebohongannya.
4)   Menyusun kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadis-hadis tersebut.
5)   Meningkatkan perlawatan mencari hadis.
6)   Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadis.
7)   Menjelaskan tingkah laku rawi- rawinya.
8)   Membuat ketentuan- ketentuan  untuk mengetahui ciri- ciri hadis maudhu'

K.     Golongan - golongan yang membuat hadis palsu
     Dengan memperhatikan uraian diatas, bahwa golongan - golongan yang membuat hadis palsu itu ada sembilan golongan yaitu:

1.    Zanadiqah (orang-orang zindiq).
2.    Penganut- penganut bid'ah.
3.    Oarang- orang yang dipengaruhi fanatik kepartaian.
4.    Orang- orang yang ta'ashshub kepada kebangsaan, kenegerian dan keimanan.
5.    Orang- orang yang dipengaruhi ta'ashshub madzhab.
6.    Para qushshash (ahli riwayat dongeng).
7.    Para ahli tasawuf zuhhad yang keliru.
8.    Orang- orang yang mencari penghargaan pembesar negeri.
9.    Orang- orang yang ingin memegahkan dirinya dengan dapat       meriwayatkan hadis- hadis yang tidak diperoleh orang lain.[9]

L.    Karya- karya dalam Hadis Maudhu':
1)   Al-Maudhu'at, karangan Ibn Al-Jauzi- beliau paling awal menulis dalam ilmu ini.
2)   Al-La'ali Al-Mashnu'ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu'ah, karya As-Suyuthi ringkasan kitab Ibnu Al-Jauzi dengan beberapa tambahan.
3)   Tanzihu Asy-Syari'ah Al- Marfu'ah 'An Al Ahadits Asy-Syani'ah Al-Maudhu'ah, karya Ibnu 'Iraq Al-Kittani, ringkasan dari kedua kitab tersebut.
4)   Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha'ifah, karya Al-Albani.


M.   Nama-nama Pemalsu
Dibawah ini kami kutipkan beberapa nama pemalsu hadis dan yang suka memalsu, supaya mudah pembaca menghukumkan maudhu', kalau sakah satu dari antara mereka terdapat dalam sesuatu sanad atau lainnya:
1.    Ahmad bin 'Abdillah Al-Juwaibari
2.    'Abbas bin Dahhak
3.    'Ali bin 'Urwah Ad-Dimisyqi
4.    Abu Dawud An-Naqhi, namanya Sulaiman bin Amr
5.    Al-Mughirrah bin Syu'bah Al-kufi
6.    Al-Waqidi, namanya Muhammad bin 'Umar bin Waqid
7.    Ghiats bin Ibrahim An-Nakh'i
8.    Hammad bin 'Amr An-nashibi
9.    Ibnu jah-dlam
10.  Is-haq bin Najih
11.  Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya
12.  Maisarah bin 'Abdi rabbih Al- farisi
13.  Muhammad bin Sa-ib Al- kalbi
14.  Muhammad bin Sa'id asy- Syami al- Mash-lub
15.  Ma'mun bin Ahmad Al-Harawi
16.  Muhammad bin 'ukasyah Al-karmani
17.  Muhammad bin Qasim Ath-Tha-ikani
18.  Muhammad bin Ziad Al-Lasykuri
19.  Muqatil bin Sulaiman Al-Bulkhi
20.  Muhammad bin tamim Al-Fari-yabi
21.  'Umar bin Rasyid Al-Madani
22.  'Umar bin Shabih Al-khurasani
23.  'Umar bin Za'id
24.  Wahb bin Wahb Al-Qadli Abul-bukhtari
25.  Za-id bin Rifa' al-Hasyimi  
N.   Contoh-Contoh Hadits Maudhu’
Di pembicaraaan sebelum ini telah kami terangkan “Bagian-bagian Hadits Maudhu’ “, “Sebab-sebab adanya Hadits Maudhu’ “ dan “Tanda-tanda Hadits Maudhu’ “. Tetapi dalam tiga pasal ini, sama sekali belum kami berikan contohnya.
Maka berikut ini, kami tunjukkan beberapa Hadits Maudhu’ bersama keterangannya, serta di mana perlu, akan kami sebutkan bagian dari sebab-sebabnya atau tanda-tandanya.
1.     اِذَا صَدَقَتِ الْمَحَبَّةُ سَقَطَتْ شُرُوْطُ الْأَدَبِ.
Artinya: Apabila rapat percintaan (antara seorang dengan yang lain), maka gugurlah syarat-syarat adab.
Keterangan:
1)   Perkataan ini, orang katakan hadits Nabi saw, padahal sebenarnya adalah itu ucapan seorang yang bernama Junaid.
2)   Karena ucapan tersebut bukan sabda Nabi saw, maka yang demikian dinamakan maudhu’, yakni Hadits yang dibuat-buat orang.

2.    اِنَّ اَلْقَمَرَ دَخَلَ فِي جَيْبِ ص وَخَرَجَ مِنْ كُمِّهِ.
Artinya: Sesungguhnya bulan pernah masuk dalam saku baju Nabi saw., dan keluar dari tangan   bajunya.
Keterangan:
1)   Ucapan ini bukan sabda Nabi, tetapi orang katakan hadits Nabi saw. Jadi dinamakan dia maudhu’, palsu.
2)   Tukang-tukang cerita sering membawakan hadits itu waktu menceritakan perjalanan atau maulid Nabi, dengan maksud supaya orang tertarik mendengarkan ceritanya.
3)   Perasaan atau keyakinan kita mesti mendustakan isinya, karena tidak terbayang dalam fikiran, bahwa bulan yang begitu besar dapat masuk dalam saku baju Nabi yang tidak beda dengan saku-saku kita, dan keluar dari lubang tangan baju yang besarnya sudah kita maklum.

3.     الننَّظَرُ اِلَي الوَجْهِ اْلجمِيْلِ عِبَادَةٌ.
Artinya: Melihat wajah yang cantik itu, ‘ibadat.
Keterangan:
1)   Barangsiapa memperhatikan isi ucapan tersebut, tentu akan mengatakan, bahwa maksudnya itu untuk membangunkan syahwat manusia, sehingga orang mau mengerjakan perbuatan yang tidak senonoh, sedang salah satu daripada keutamaan manusia, ialah menjaga syahwatnya.
2)   Sabda Nabi tidak akan bertentangan dengan sifat keutamaan manusia, tetapi Hadits itu nyatanya berlawanan; teranglah bahwa itu bukan Hadits Rasulullah saw. Oleh sebab itu dia disebut hadits maudhu’.
4.       لَوْ اَحْسَنَ اَحَدُكُمْ ظَنَّهُ بِحَجَرٍ لَنَفَعَهُ الّلهُ بِهِ[10].
Artinya: Kalau salah seorang dari pada kamu menyangka baik kepada sebuah batu, niscaya dengan batu ini, Allah akan memberi manfa’at kepadanya.
Keterangan:
1)      Tujuan hadits ini supaya manusia menghormati atau menyembah batu.
2)      Menghormati atau menyembah batu atau yang seumpamanya itu, bertentangan dengan  kepercayaan islam. Islam mengatakan, bahwa tidak ada seorang atau apapun yang dapat memberi manfa’at kepada manusia, selain dari Allah swt.
3)      Tidak syak lagi, bahwa omongan itu adalah buatan kaum musyrikin, penyembah berhala.

5.         حُبُّ الدّنْيَا رْآْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ.
Artinya: Cinta kepada dunia itu, pokok bagi tiap-tiap kesalahan.[11]
Keterangan:
1)      Menurut riwayat Ibnu Abid-Dun-ya, adalah yang tersebut ini, omongan orang salaf, yaitu Malik bin Dinar, tetapi menurut riwayat Baihaqi, adalah itu sabda Nabi ‘isa
2)      Oleh karena kalam itu bukan sabda Nabi Muhammad saw., tetapi orang sandarkan kepada beliau, maka dianggap dan dinamakan dia maudhu’, yakni hadits yang diada-adakan orang atas nama Nabi saw.

Hadits-hadits palsu:
1.       Hadits yang menyuruh orang shalat malam jum’ah 12 raka’at dengan bacaan surah Ihlash 10 kali.
2.       Hadits yang memerintah orang shalat malam jum’ah 2 raka’at dengan bacaan surah Zalzalah 15 kali,(ada juga yang menerangkan 50 kali).
3.       Hadits-hadits shalat pada hari jum’ah 2 raka’at, empat raka’at dan 12 raka’at.
4.       Hadits-hadits sebelum shalat jum’ah, ada shalat yang empat raka’at dengan bacaan surat ikhlas 50 kali.
5.       Hadits-hadits shalat ‘Asyura’,
6.       Hadits-hadits shalat Ragha-ib,[12]
7.       Hadits-hadits shalat malam dari bulan Rajab,

1 komentar:

Unknown mengatakan...

makalahnya cukup bagus, cuma sayang tidak ada refrensinya yang di sebutkan sama sekali.

Posting Komentar