Kamis, 05 Januari 2012

Maaf Terakhir


Maaf terakhir
Hari ini tepat 100 hari kepergian Dinda, ia adalah saudara sepupuku. Saudara yang paling kusayang karna memang aku tidak punya saudara selain dia dan dia juga demikian. Walaupun hanya saudara sepupu karena ayahku bersaudara dengan ayahnya namun kami sangat dekat. Dinda sangat tahu bagaimana watakku dan akupun demikian, karena memang sejak kecil bahkan sejak Dinda lahir dan aku berumur 3 tahun kami selalu bersama. Sekarang aku berumur 21 tahun, 5 bulan yang lalu aku ditunangkan dengan anak dari teman ayah yang memang pacarku. Sejak itu aku mulai jauh dari Dinda.
Hari itu entah kenapa kuberanikan diri untuk bertanya pada Dinda yang kurasa semakin menjauhiku. Perasaan yang sudah berulang kali menjadi keharusan saat setiap kali ikatan cinta terjadi entah dari Dinda atau aku.
Kadang kumerasa Dinda menganggapku lebih dari sekedar kakaknya, ia mencintaiku bukan cinta seorang adik kepada kakaknya tapi cinta seorang perempuan pada laki-laki, namun prasangka itu cepat-cepat kubuang dari pikiranku karena tak mungkin Dinda merasakan itu. Kami hanyalah kakak beradik, ya, , , kakak dan adik.. tidak lebih…..!!!!!
************
Dinda adalah seorang gadis yang pintar, cantik, dan sangat manis. Tidak heran kalau banyak laki-laki yang mendekatinya dan ingin menjadi pacarnya, tapi tak sedikit pula laki-laki yang kecewa karena sikapnya yang blak-blakan menolak cinta mereka dengan tingkahnya yang amat tomboy.
Gadis yang selalu berpenampilan tomboy dengan rambut diikat dan dilipat serta sarung tangan setengah jari khasnya ini tak peduli pada siapapun yang mendekatinya kecuali bukan untuk menawarkan cinta. Dinda adalah anak yang sangat pintar maka dari itu dia selalu juara kelas bahkan juara umum disekolah. Dia adalah ketua tim basket sekaligus andalan diekskul KIR dalam setiap perlombaannya. Sungguh bangga mempunyai adik sepertinya.
Walaupun  umur kami beda 3 tahun namun sekolah kami hanya beda 1 tingkatan karena Dinda sudah dua kali mengambil kelas percepatan dengan kepintarannya. Aku dan Dinda selalu satu sekolah, disekolah temam-teman semua mengira kami memang kakak beradik bukan sepupu, karena memang wajah kami yang menurut mereka mirip dan nama belakang kami yang sama yaitu “Dinda kirana putri Arya tirta” dan Rehan saputra Arya tirta” yang diambil dari nama kakek jadi tak heranlah kalau kami selalu pulang dan pergi sekolah bersama, bahkan disekolahpun kami sering bersama. Namun demikian tak pernah terasa bosan atau apapun antara kami berdua.
**********
Dinda mempunyai dua orang sahabat yaitu Tere yang tak kalah tomboynya dan Bella yang sangat bertolak belakang dengan mereka berdua. Bella yang berasal dari Solo berwatak sangat pendiam, lembut seperti halnya para penghuni keraton Solo dan Tere yang berasal dari Yogya dengan logat khas Yogyanya dapat berbagi suka cita dengan Dinda. Mereka tau betul apapun tentang Dinda, tak kalah denganku yang sudah sejak Dinda lahir mengenalnya. Begitu pula Dinda yang sangat tau apapun tentang mereka. Segala hal selalu diceritakannya pada Tere dan Bella, bahkan sesuatu yang tak boleh diketahui oleh siapapun termasuk aku sendiri, entah apa hal itu…..?
**********
Suatu hari saat aku kelas 2 SMA dan Dinda, Tere, serta Bella kelas 1 SMA, Dinda bercerita pada kami semua tentang berbagai macam laki-laki yang dalam sebulan ini katakan cinta padanya. Sampai pada nama Ardi seorang ketua tim basket sebelum kedudukannya digantikan oleh Dinda. Ardi cokrodinata adalah siswa kelas 2 sama sepertiku, walaupun seorang yang terkenal kaya, pintar, tampan+ketua OSIS dan gitaris band populer disekolah pula, ia tak pernah sombong seperti kebanyakan orang dengan kriteria tersebut. Sejak Dinda masuk tim basket dibawah naungannya, ia sudah menyukai Dinda dan berulang kali katakana cinta padanya tapi selalu ditolak, sabenarnya sangat banyak gadis yang mengantri untuk jadi pacarnya tapi Ardi bukanlah tipe laki-laki playboy. Dia pernah mempunyai pacar yang sangat baik bernama Kanya, sekarang dia tidak bersama Kanya lagi bukan karena tidak cocok atau bosan tapi karena Kanya telah terlabih dahulu berpulang kepada sang Khalik karena penyakit kanker otak. Setidaknya itulah tanda kesetiaannya.
Dua hari setelah Dinda bercerita tentang itu pada kami, aku bercerita pada Dinda tentang seorang gadis manis, kalem, dan sangat baik menurutku yang telah menjadi pacarku sejak seminggu yang lalu dan entah mengapa baru sekarang berani kuceritakan pada Dinda. Sejak itu kumerasa Dinda mulai jaga jarak denganku, ia menerima Ardi jadi pacarnya tepat pada hari itu. Apakah ini hanya perasaanku atau memang Dinda tak suka dengan ceritaku itu? Entahlah….. kumerasa Dinda selalu menjauhiku apabila kudekat atau pacaran dengan siapapun dan hal yang kurasa sangat aneh adalah Dinda selalu menerima salah satu laki-laki yang menyukainya dan memutuskannya tepat saat kujadian dan putus dengan siapapun. Seakan sudah jadi tradisi kami pacaran dan putus bersama-sama. Tapi Dinda selalu tak menghiraukan saat kubahas keanehan itu. Tapi sudahlah apa salahnya???
Dinda pernah berkata padaku “Bang, aku selalu melihat sosok seseorang dalam tiap mimpi ataupun sadarku,,selalu bang. Apa aku jatuh cinta?”  “maksudmu?”jawabku. Dinda hanya tersenyum dan berkata “sudahlah, tak mungkin jadi kenyataan”. Membuatku semakin bingung dengan semua ini.
**********
Tak kalah dengan para novelis, Dinda juga sering membuat cerita-cerita bahkan sebuah novel yang sempat menjadi primadona ditoko-toko buku. Dia memang sangat suka menulis, bakatnya ini mulai dituangkannya pada lembaran-lembaran diary yang menceritakan tentang kisah hidupnya. Dari diary-diary yang ditulisnya sejak kelas 5 SD inilah kumengetahui apa yang dirasakannya selama ini, dari sinilah kutemukan semua jawaban yang telah lama jadi misteri dibenakku.  
Dinda to diary”
Diary,,,Dinda nerima Ardi, salah???
Tak mengerti meski kucoba tuk mengerti semua sikap ini, aku sendiri tak bisa mengatakan apakah ini tulus atau hanya sebuah ketakutan dan pertimbangan. Tiap kuartikan,,, kasih itu tak ada pertimbangan, hanya hati yang berhak penuh atas semuanya. Namun saat ini, hati ini tak sanggup tuk mengatakan apapun karena hati itu sendiri mengerti apa yang ada pada kenyataan ini. Apakah ini yang memang seharusnya Dinda lakukan diary? Apakah cara Dinda ini benar? Apakah memang ini seharusnya cara untuk menghargai Ardi ataukah menyayanginya? Terlalu tak tau dirikah aku hingga tak dapat melihat ketulusannya? Terlalu tak tau dirikah aku hingga hanya memikirkan tiap jeritan hati ini yang tak seorangpun memperdulikannya? Terlalu tak tau dirikah aku yang telah mempunyai harapan memenangkan hati ini yang selalu dinilai orang sebuah dosa? Terlalu tak tau dirikah aku? Sedang sekarang kupunya Ardi…..
            Memang sulit bagi seorang sepertiku yang tak puitis mengerti apa yang dimaksudkan Dinda dalam diarynya itu. Tak heran kalau Dinda dapat menulis sebuah novel hebat dengan kepuitisannya itu. Lembar demi lembar kubuka dan kubaca diary yang tersusun rapi dikotak berwarna hitam biru dikamar Dinda. Begitu banyak sambung menyambung kisah didiary-diary yang akan selamanya kusimpan ini karena sebelum pergi Dinda menulis bahwa semua yang dalam kotak itu diberikan padaku. Semula kutak mengerti kenapa, tapi setelah kulihat satu persatu foto, kalung, lukisan, pita, diary-diary, boneka, dan berbagai kenangan-kenanganku bersama saudara sepupuku itu, kudapat mengerti semuanya. Semua yang selama ini terjadi tanpa kusadari. Betapa bodohnya aku…
Tanpa henti dan lelah ataupun bosan, kubaca tiap lembar diary ini.
“Dinda to diary”
Titipan cinta terlarang
Entah apa kata yang harus kuucap atas semua rasa yang tercipta ini. Tak dapat kuelakkan sendiri bahwa cinta ini bergumam dari hati yang t’lah terlanjur letih berlari yang ternyata rasa ini tertambat pada sebuah nama jauh sebelum orang lain menyadari kehadirannya. Sejak kelahiranku ku t’lah bisa merasakan kehadirannya, seringkali kutersenyum hanya padanya, rasa ini mulai tumbuh tanpa kusadari. Waktu terus berlalu sampai pada suatu saat kumerasakan sebuah rasa cinta.
Sebuah aturan dari sang Khalik yang turun dari rasy menentang setiap apa yang kurasakan ini. Setiap kali kusujudkan hati tersadar akan apa yang terasa namun kasih ini begitu sulit terhapuskan. Walau cinta ini titipan namun tak ada tempat untuk cinta ini tumbuh.
Mungkin karena kuterlalu dekat dan cocok dengannya hingga kumerasakan ini. Dia saudaraku sendiri walaupun hanya saudara sepupu namun dia juga saudara seibu susu denganku hingga tak mungkin cinta terlarang ini kuungkapkan.     
“Dinda cinta bang Rehan”

“Dinda to  diary”
Tuhan rasa apa ini?
Bila memang tak ada tempat untuknya mengapa kau titipkan ini? Dalam tiap relung hatiku  hanya terpatri, terpahat namanya, tak bisa terganti. Rasa ini sungguh sakit Tuhan… terlalu sakit. . . . . .
Senyumnya selalu terbayang walau berkali-kali kucoba menggantinya dengan yang lain namun tak bisa, takkan pernah bisa Tuhan!!!! Begitu menyakitkan tiap kali kulihat dia bersama yang lain hingga kucoba tuk melampiaskannya pada orang lain.
Kau jahat bang,, kau tak bisa mengerti aku. Sadarkah kau menyakitiku bang?
“Dinda benci bang Rehan”

“Dinda to diary”
Hari ini bagai tak ada kehidupan. Kuserasa mati… Cintaku kan pergi tanpa sanggup kukejar. Hati ini sungguh sakit tak bisa kuungkapkan. Mata ini tak berhenti tuk menangis. Sangat sakit…..
“Adelia”,, nama itu menambah hatiku teriris. . . Bang Rehan kan tunangan dengan Adelia hari ini. Dunia seakan runtuh menimpaku. Sangat sakit….. Teganya kau bang.

“Dinda to diary”
Tak ada lagi yang menyayangiku, hidupku kosong tak berarti… Aku tak bisa menahan sakit ini, tak sanggup. . .  Kutak ingin menyakiti siapapun namun tak bisa menyembuhkan rasa sakit ini. Tak ada yang mengerti segenap perasaanku. Kutak bisa terus hidup dengan rasa sakit ini.
Selamat tinggal semuanya, Dinda minta maaf, Dinda sayang kalian semua. Tak ada yang harus disesali apalagi disalahkan. Dinda tak ingin ada airmata yang terus berderai darimu bunda dan semuanya. Dinda ingin pergi. Semoga ini adalah yang terbaik.
“Dinda mencintaimu dan selalu mencintaimu bang Rehan”
Itulah lembar akhir yang tertulis didiary yang kusam karena deraian airmata Dinda ini. Lembar akhir yang mengantarkan Dinda pada akhir hidupnya, pada akhir hembusan nafasnya.
Dinda meninggal dikamarnya, diatas tempat tidur yang berlumuran darah karena sayatan luka disengaja dinadi tangan kirinya, namun dia terbaring ditempat tidur dengan sprei dan selimut biru layaknya sedang tidur. Dengan tulisan terakhir “ LOVE REHAN” bertintakan darahnya yang tertulis pada selembar kertas merah muda, warna yang paling dia benci, warna yang selalu kuanjurkan untuknya menyukai warna itu.
Selamat jalan Dinda,, Maafkan bang Rehan Din, bang Rehan sayang Dinda. . . . . . . . . . . .
*****The End***** 

0 komentar:

Posting Komentar