Terdengar sebuah sedu antara relung hati yang telah lambat laun jadi sebuah keputus’asaan. Hati yang tanpa perintah, tanpa petunjuk, bahkan tanpa arah mengukirkan setiap noktah-noktah kepahitan menjadi kasih yang nyata walau menakutkan karena tak ada celah tuk melukisnya hingga jadi indah. Terkadang jamah kasih yang menyibak sekat hati terhadap keraguan-keraguan itu dapat memadamkan api resah yang terus menyala namun tak tertelaah bahwa itu telah membuatnya menjadi bara, panas… Takkan terdengar tiap jerit kalbuku atas luka bara harapan itu.
Rentang yang dialami, waktu, rupa, keterpurukan, tak ada yang dapat jadi penyebab hatiku menghapusnya dari tempat terakhir diantara keputus’asaan ini. Berjuta mata luka, toreh penantian yang membunuhku dalam diamnya tak dapat pula jadi alasan untukku membunuhnya dari ingatanku. Rasa ini membuatku terus menerus bahagia dalam airmata, tak dapat terganti dan tak tau kapan berkurang, bagai kapas beterbangan tanpa tau dan terpikir kapan akan jatuh atau terus melayang antara angin yang tak peduli galau yang terasa.
“Sudahlah, cinta itu hanyakan menyakitimu Clara”, kata-kata yang selalu terngiang dibenakku. Sakit yang kurasakan tak cukup menjawab setiap tanya akan sosok cinta yang diketahui yang berarti bukan cinta. “kutak mengharap apapun, tak peduli sakit apapun, karna hatiku hanya aku yang tahu dan pencipta yang membuatnya mencinta”.
Hal itu lah yang membuatku melangkahkan kaki pada ruangan yang sungguh asing, penuh pertanyaan darimana datangnya semua ini? “jangan takut, tak ada yang menganggapmu gila Clara, kita mencoba menjawab apa yang terjadi selama ini.”
Segalanya semakin membuatku tak mengerti, apa yang membuat galaunya hati tak terjawab. Rasa ini selalu menghantuiku bahkan untuk memejamkan matapun ku tak berani, karena tiap kali kupejamkan mata selalu hadir mimpi itu,, mimpi yang membuat ka’ Rayda selalu mendesakku keseorang ahli jiwa. Hari demi hari kulalui dengan semua rasa sakit dan takut ini, entah apa yang terjadi akupun tak mengerti.
Kurebahkan tubuh yang lunglai tak berdaya ini walau penuh ketakutan, kutengok pil-pil yang mungkin dapat menenangkanku meski tak selamanya. Mulai kuberanikan diri tuk bertemu dengannya lagi bila kupejamkan mata,, hingga ku terlelap jauh kealam bawah sadarku dan melihat sosok yang sebenarnya tengah kunantikan. Semuanya begitu nyata, tak seperti yang disebut sebuah mimpi, angan, bahkan khayalan.
“Clara”,, tersadar kudengar suara ka’ Rayda memanggilku dari luar kamar. Dengan penuh kebimbangan kujawab teriakan itu, “ya kak”… “kau sudah minum obat?” jawabnya lagi, sebuah pertanyaan yang tak asing lagi tiap kali malam tengah menelan siang. “sudah kak” jawabku walaupun sebenarnya tak pernah kuteguk satu pil pun selama ini karena ku rasa ku tak perlu itu. “ ya sudah,, tidur yang nyenyak yah” pesan ka’ Rayda. Perlahan ku teruskan pertemuan itu, ku mulai tenggelam dalam angan yang entah anugerah atau buatanku.
**********
Butir-butir pertanyaan membuatku semakin terperosok dalam mimpi ini bahkan saat ku terjaga, toreh kesalahan tak terlihat walau dipelupuk mata. Titik hujanpun membuatku semakin takut menerjangnya, mimpi itu selalu segar diingatanku. Mimpi itu tak berhenti menghantuiku…
Semakin kupendam ini, semakin kurasa besar kesalahanku dan semakin tak ada gunanya rasa cinta yang ada yang hanya untuknya dan selalu untuknya. Haruskah kutebus ini dengan semua penyesalan yang takkan berakhir?
Tuhan… kupinta dalam sepi, kusujud dalam senyap gelapmu. Apa yang harus kulakukan Tuhan? Tak ada ruang yang tersisa untuk orang lain dihati ini, hanya dia dan hanya padanya kutambatkan ikrar yang mulai usang ini. Namun tanpa kusadari aku sendiri yang membuatnya pergi tanpa kasih sayang ini. Semua harus kuhadapi meski penuh kebimbangan, kuharus bisa hidup tanpa bayang-bayangnya lagi dan tanpa segala pengharapan cinta itu kan kembali.
Diantara titik persimpangan ini enggan kuayunkan tungkai kaki yang hampir tak bisa menopang tubuh yang mulai tumbang, lirih dan pedih tak terhingga. Terus kusibak airmata dengan sisa sadarku yang didekap ka’ Rayda hingga dapat terus berdiri disini,, diantara batu-batu nisan yang salah satunya berukirkan nama yang sama dengan nama yang selalu terukir dan terus terukir dihatiku tanpa dapat terganti. Sekat hidup yang membuatku dianggap gila oleh setiap orang, apakah kusalah?
Tak dapatkah kau lihat cintaku yang begitu besar hingga kau rela mati demi cinta yang sebenarnya hanya fatamorgana? Begitu membekaskah jejaknya dihatimu hingga tak ada ruang untukku mendekap kasihmu? Tak ada alasan untukku bertahan dengan tiap jenuh yang tak terasa, hanya mimpi yang selalu hadir saat kupejamkan mata yang tak dapat kuakhiri hingga akhir usia yang merantai dan membelenggu kalbu ini.
Maaf karna ku terlalu mencintaimu. . . . .
**********
“Tulisan yang kudapat dibuku kesayangan Clara saat dua hari setelah adik kesayanganku yang memang satu-satunya itu dirawat dirumah sakit jiwa”
*****The End*****
0 komentar:
Posting Komentar